“Eh
udah rapi belom, bagus nggak?”
Tira berdiri didepan cermin, dengan
berbalut gaun berwarna biru metalik dan dandanan naturalnya sambil
berputar ala balerina. Raka yang duduk disudut tempat tidur, tampak
kebingungan melihat sahabatnya. Tira kelihatan begitu semangat untuk
menghadiri acara penamatan sekolahnya.
“udah,
udah. Kenapa sih lo? Girang amat!”, tanya Raka sambil merapikan
dasinya.
“perlu
gue jawab ya? Menurut loo ?”, jawab Tira, jutek sambil mengacungkan
jari berbentuk L.
Sadar
akan jawaban Tira, Raka tidak ingin memperpanjang permasalahan dengan
sahabatnya yang satu ini. “yuk, udah telat nih”. Raka menarik
tangan Tira yang tampaknya betah berdiri didepan cermin. “eh
tunggu, sepatunya, Ka”. Seketika Raka melepas tangan Tira dan
melanjutkan langkah ke arah mobil. Tira segera bergegas mengambil
sepatu dan menuju mobil.
Sepanjang
perjalanan, Tira merasakan denyut jantungnya berdetak semakin cepat.
Ia merasakan akan ada kebahagian yang super menghampiri
dirinya. Jalanan tampak sepi, hingga Raka bisa mempercepat laju
kendaraannya.
15
menit kemudian...
Tira
menginjakkan kaki kanannya turun dari mobil menuju ballroom. Dipandu
oleh Raka, bak seorang putri, Tira menggandeng tangan Raka. Ia mulai
berjalan melalui lobil hotel dan memasuki area ballroom. Suasana
tampak ramai. Gaun glamour warna-warni menghiasi gedung yang
berukuran cukup luas. Tampak para tamu undangan sudah menduduki
tempatnya masing-masing.
“Tir,
entar ada kata sambutan ya dari lo, soalnya si Rasti nggak bisa
dateng. Berhubung lo wakilnya dia, yaa bisa kan.” Tiba-tiba Desya
menghampiri Tira. Sontak Tira terkaget. “ what? Gue? Aduh mendadak
amat sih?”. Tira menyadari, berbicara didepan audiens yang bisa
dikategorikan banyak ini TANPA PERSIAPAN
membuatnya akan menjadi patung mendadak. Tapi tidak ada pilihan lain.
Tira harus melaksanakan kewajibannya.
Sebenarnya
sejak kedatangan Tira, yang ia harapkan adalah bertemu sosok Radit.
Tujuan dan alasan utama dia keacara ini tuh selain merayakan
kelulusannya, juga ingin bertemu Radit 'mungkin' untuk terakhir
kalinya. Banyak hal yang ingin ia sampaikan. Ungkapkan lebih
tepatnya. Beberapa hari yang lalu, Tira mendapati kabar jika Radit
akan melanjutkan studynya ke Aussie. Jadi mau tidak mau dia harus
ketemu dan menanyakan soal kebenaran itu.
“Para
hadirin dipersilahkan menduduki tempatnya masing-masing karena acara
sebentar lagi akan dimulai”. Stella yang berperan sebagai MC tampil
dengan gaun emas yang super glamour.
Tampaknya
tak tanda-tanda kehadiran Radit. Tira mulai gusar. Ia merasa tak
tenang. Sampai akhirnya ia dipanggil untuk memberikan kata sambutan
kepada tamu yang hadir mewakili Rasti sebagai ketua Osis.
Seruan
tepuk tangan membuat Tira semakin merasa deg-degan untuk naik ke atas
panggung. Ia berdiri dari tempat duduknya dan melangkahkan kaki
menuju panggung. Disetiap langkahnya, Ia selalu mengucapkan
“bismillah” dan menarik nafas panjang-panjang untuk menghindari
hal yang tidak diinginkan terjadi. Kini ia sudah berada di tengah
panggung dan siap memberikan sambutan.
“Assalamualaikum...”
Tira
memberikan kata sambutan untuk para tamu undangan yang hadir dan
memberikan sepatah dua patah kata sebagai wakil ketua Osis.
Disepanjang kalimat-kalimat yang ia lontarkan, Tira mengalihkan
pandangan kesudut-sudut ruangan. Sejak tadi batang hidung Radit,
belum kelihatan sama sekali. Namun, Tira tetap memfokuskan pikirannya
kepada pidato yang ia lontarkan. Pada menit terakhir, mata Tira
terpaku pada sosok lelaki yang daritadi memberinya kode dengan
melambaikan tangan dari arah pintu masuk.
“Raka”,
gumamnya dalam hati.
Melihat
kelakuan Raka, Tira kembali fokus dan mempercepat pidatonya.
Setelah
para tamu undangan memberikan sambutan tepuk tangan yang meriah, Tira
beranjak pamit dari panggung dan langsung menuju ke tempat Raka
berdiri. Ia berlari dengan kecil-kecil, karena high heels yang dia
pakai memiliki tinggi sekitar 7 cm. Tidak sampai 30 langkah, melewati
lorong-lorong jalan dan para tamu, kini ia berada dihadapan Raka.
Tira
merasakan ada yang tidak beres. Tira menggenggam erat kedua
tangannya. Tak lama Raka menarik tangan Tira keluar dari gedung
menuju ke arah parkiran mobil.
“apaan
sih? Sakit, Ka”. Sadar akan jeritan Tira, Raka merenggangkan
sedikit genggamannya. “cepetan Tir”, ucap Raka dengan nada
gelisah.“Kita mau kemana? Ngapain buru-buru sih?”. Tanpa
memperdulikan ocehan pertanyaan-pertanyaan Tira, Raka hanya terdiam
dan bergegas masuk kedalam mobil bersama Tira. Diperjalanan Tira
tidak hentinya melontarkan pertanyaan dalam dirinya. Jalanan tampak
ramai. Tidak sepi seperti sebelumnya. Jajanan pinggir jalan, tampak
ramai oleh pengunjung. Lampu-lampu berjejer dipinggir jalan,
memberikan cahayanya sepanjang jalan kota Jakarta.
“Raka
kenapa sih? Jangan-jangan....eh nggak. Masa ia?”, lirihnya dalam
hati. Tira berfikir bahwa sahabatnya ini akan membawa dia ketempat
yang special yang daritadi tidak akan diberitahunya. Alunan musik
jazz dari Tompi, terdengar hingga ke sudut-sudut mobil Raka. Tidak
ada topik yang mereka bicarakan. Mereka terdiam.
Raka
menyalakan weser mobil ke arah kanan dan segera berbelok.
“Rumah
sakit?”, gumam Tira pelan.
Raka mengambil karcis dan langsung mencari parkiran yang kosong.
Sesampainya diparkiran, Raka mematikan mesin mobil dan membukakan
Tira pintu lalu menariknya cepat masuk ke arah lobi. Raka menuju ke
resepsionis. “Mbak, ruang ICU dimana ya?”, tanya Raka. Mbak-mbak
resepsionis menyebutkan arah sambil mendeskripsikannya melalui
gerakan tangannya.
Setelah
mendengar arahan dari si Mbak-mbak tadi, Raka menarik tangan Tira.
Tiba-tiba Tira, melepaskan tangannya secara paksa dari genggaman
Raka. Detik itu juga, Raka membalikkan badan dan memandangi wajah
Tira yang mulai menunjukkan ekspresi emosi.
“sebenarnya
kita mau kemana sih, Ka?”, Tira benar-benar sedang berda diluar
kontrolnya. Ia tak mempedulikan pandangan orang-orang rumah sakit
yang melihat ke arahnya dan Raka. “Lo nggak denger tadi? Kita ke
ICU!”, dengan emosi Raka mengeluarkan suara membentak, sampai
ketika Tira tertunduk. “Tapi ada apa, Ka? Coba lo jelasin”,
padangan Tira mulai kabur ditutupi oleh air mata yang mulai berlinang
dari matanya. Raka melangkah maju lebih dekat kearah Tira dan
memeluknya.
“gue
nggak kuat sama sekali ngasih tau lo sekarang, tapi melihat keadaan
lo mungkin emang sekarang saatnya gue ngasih tau lo. Sorry banget
Tir, daritadi gue ngebuat lo emosi. Gue nggak maksud sama sekali. Gue
sayang ama lo, gue nggak mau lo kecewa sama gue. Tadi juga gue baru
denger dari temen-temen yang lain. Kalau Radit.....”, sebelum Raka
menyelesaikan kalimatnya, Tira tiba-tiba melepaskan pelukannya dari
Raka.
“Radit
kenapa? Radit kenapa?”
“Radit....emmmm”.
“Radit
kenapaaaaa!!!Lo kenapa sih, Ka!!!!”
“Radit....kecelakaan
Tir, tadi dia bareng anak-anak tapi keadaan dia yang paling parah”.
Tanpa
mendengar penjelasan dari Raka, Tira berlari menyambar pundak Raka
dan langsung menuju ke ruang ICU. Samar-samar, ia masih mengingat
arahan dari suster di resepsionis tadi. Raka segera mengikuti Tira.
Tak cukup lama Tira berlari, kini ia terhenti sejenak setelah melihat
Toro, Rafi dan beberapa orang yang mungkin adalah keluarga Radit
sedang berkumpul di depan suatu ruangan.
Tira
merasakan tubuhnya bergetar dan menjadi patung sejenak. Dengan berat
hati, ia melangkahkan kakinya. Langkah demi langkah. Ia menutup kedua
mulutnya dan menggelengkan kepala dengan rasa ketidakpercayaan atas
apa yang ia lihat sekarang. Tak cukup 10 langkah, kini Tira berada
didepan ruangan ICU.
“Radit
kenapa, Raf? Radit kenapa?”, Tira menarik-narik baju Rafi.
“tenang
Tir, tenang. Dokter masih meriksa dia, mudah-mudahan ada keajaiban
untuk dia, Tir”, jelas Rafi.
Seketika
Tira tertunduk dan merasakan sakit yang luar biasa dihatinya. Raka
merangkulnya dari belakang dan menggiring Tira ke tempat duduk yang
berada disekitar mereka sambil menunggu kabar dari dokter
selanjutnya.
20
menit kemudian...
Terdengar
suara gagang pintu dan pintupun terbuka. Terlihat laki-laki
menggunakan baju, lebih tepatnya jubah berwarna hijau (baru khusus
operasi) mucul dari balik pintu. Seorang dokter segera bertanya siapa
keluarga dari pasien didalam.
“Saya
dok”, orangtua yang berumur sekitar 40an tahun yang tak lain adalah
Ibunda dari Radit, kini berdiri dihadapan dokter tersebut.
Sang
dokter melepaskan kacamatanya dan menyentuh pundak Ibunda dari Radit,
“Kita sudah berusaha semaksimal mungkin, bu. Tapi apa daya, respon
dari anak Ibu adalah negatif. Kami berharap Ibu bisa lebih sabar
menghadapi kenyataan bu.”
Mendengar
kalimat itu, Tira menutup mulutnya karena tak kuasa menahan sedih. Ia
tertunduk. Ia merasakan tubuhnya lemas seketika. Ia tidak dapat
merasakan apapun. Pandangannya kabur. Ia tak habis pikir akan
mendengar kabar seperti ini. Kini pandangan Tira kosong.
Benar-benar
kosong.
♔
Dari
malam hingga pagi hari, tak hentinya Raka dan Desya menunggu Tira
terbangun dari pingsannya semalam. Tira kelihatan shock berat setelah
mendengar kalimat-kalimat yang keluar dari mulut si pak dokter.
Tentu, bukan hanya Tira yang merasakannya. Tapi, mereka semua harus
menerima semua kenyataan yang terjadi.
“Dit....Radit....”
Raka
menatap ke arah Tira. Dilihatnya Tira, mengucapkan nama 'Radit'
berulang-ulang. Raka mengambil langkah menuju kearah Tira yang
terbaring diatas tempat tidur. Desya mengusap-ngusap wajah Tira. Tak
perlu menunggu lama, kini Tira membuka mata. Masih dengan tatapan
kosong, ia memandangi langit-langit kamarnya. Tira menoleh ke arah
Raka dan berbalik menoleh ke arah Desya.
“Tir,
lo harus nerima kenyataan, Radit udah nggak ada”. Mata Tira
terlihat berkaca-kaca setelah mendengar ucapan Desya. Ia merasa masih
belum bisa menerima semuanya. Semua bagaikan mimpi baginya. Kenapa
harus secepat itu? Masih banyak hal yang ingin ia sampaikan ke Radit.
Tira
terdiam. Membiarkan pipinya basah oleh linangan air mata. Ia merasa
tak bisa menahan semua perasaannya. Ia tertunduk dan kemudian menutup
mukanya dengan kedua telapak tangannya. Dan meneriakkan nama Radit
sekeras mungkin. Desya segera memeluk Tira untuk menenangkannya. Raka
hanya bisa tertunduk melihat keadaan sahabatnya.
“Tir,
gue harap lo mau hadir di acara pemakaman Radit, entar sore jam 4. Lo
harus kuat, Tir”, desis Raka.
Kini
Tira mengangkat pandangannya. Ia mengusap air mata yang membasahi
pipinya. Menyadari segalanya harus ia ikhlaskan. Ia menarik nafas
dalam-dalam. Berusaha untuk menenangkan diri. Berusaha menerima
semuanya. Tira memutuskan untuk menghadiri upacara pemakaman Radit.
Sekali lagi ia menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya
perlahan. Ia berkata dalam hati...
“Sabar,
Tir. Ikhlas”