Raka
adalah jenis manusia yang suka nagih janji. Pagi-pagi, bel belum
berbunyi pun, dia sudah melaksanakan kewajibannya itu. Tira yang baru
saja memasuki ruangan, tiba-tiba diterpa pertanyaan-pertanyaan yang
bikin mood Tira down.
Suasana kelas masih tampak sepi. Hanya ada beberapa siswa yang
ngerumpi disudut kelas. Tiba-tiba mata Tira terpaku ke sebelah Raka.
“Radit mana?”, Tira memberi Raka kode dengan menaikkan alis ke
arah tempat duduk Radit si anak baru.
“Nggak
tau, paling entar lagi datang. Lo mabuk ya? Inikan masih pagi amat.
Wajarlah dia belom dateng.” Menyadari sindiran Raka, Tira duduk dan
melemparkan tasnya ke atas meja. Beberapa orang melirik ke arahnya,
tetapi hanya sementara saja. “Tir...”, Raka berusaha membujuk
Tira untuk menceritakan apa yang terjadi semalam. Raka tau kalau
sahabatnya ini, gampang stress. Jadi lebih baik ia agak 'sedikit'
memaksa Tira untuk bercerita, tujuannya sih agar Tira tidak menyimpan
banyak beban di pikirannya.
“Ntar
deh, gue pengen sendiri dulu, Ka”, mendengar jawaban itu, Raka
mengurungkan niatnya untuk memaksa Tira bercerita. Ia lebih baik
membiarkan Tira berfikir dan menunggu waktu yang tepat. Sepanjang
waktu pelajaran, Tira benar-benar termenung oleh kejadian semalam.
Saat bel jam untuk istirahat pun, Tira lebih memilih untuk tiduran
didalam kelas dibanding ke kantin. Raka menawarkan berbagai makanan
tetapi tetap saja Tira sedang tidak ingin berbuat apa-apa.
Hingga
saat bel pulang, Tira masih tutup mulut. Kelas mulai tampak sepi.
Hanya tinggal mereka berdua. Raka menunggu reaksi Tira dari belakang.
Tiba-tiba Tira berbalik badan...
“udah,
lo pulang duluan aja. Hari ini gue bawa mobil jadi bisa pulang kapan
aja. Gue masih pengen sendiri, Ka. Lo kan sahabat gue, jadi lo bisa
ngertiin gue kan?”.
Pernyataan
itu benar-benar membuat Raka berat untuk beranjak dari tempat
duduknya. Bagaimana bisa ia meninggalkan Tira sendirian dengan
keadaan seperti itu?. “Tapi, Tir...”. “udah nggak apa-apa kok.
Entar malam gue janji deh buat cerita.okay?”. Dengan berat hati,
Raka meninggalkan Tira sendirian. Dalam kelas.
Setelah
melihat sosok sahabatnya meninggalkan ruang kelas, Tira menutup mata.
Menarik nafas dalam-dalam. Berharap tidak akan mengeluarkan setetes
air mata sedikitpun. Ia membuka mata dan mengambil tas untuk segera
bergegas keluar. Ia melihat kearah lapangan sekolah. Sudah sangat
sepi. Tira memutuskan untuk berjalan mengelilingi sepanjang koridor
lantai dua. Mumpung sepi, pikirnya. Ia mengitari koridor yang
berbentuk 'O'. Ia berfikir untuk memulai dari depan kelasnya dan
berakhir didepan kelasnya juga.
Sambil
melangkah, Tira terus dibayangi oleh kejadian-kejadian semalam.
Pertanyaan mulai muncul satu persatu dalam benaknya. “apa gue salah
ya?” “apa gue bakal nyesel?” “kenapa bisa?”. Sesekali, Tira
menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya. Dengan perasaan tidak
karuan, Tira merasakan kehancuran yang tak bisa ia bendungi. Ia
merasa membutuhkan pundak seseorang untuk menangis tetapi ia belum
siap untuk bercerita. 5 menit Tira berjalan dan memikirkan segalanya.
Akhirnya,
Tira menemukan titik akhir. Ia berfikir, “sampai kapan harus
seperti ini? Ini bukanlah akhir dari segala. Mungkin ini memang yang
terbaik buat gue, dan harus gue syukuri. Masih ada yang lebih baik
diluar sana”. Seketika, Tira melontarkan sebuah senyuman ikhlas dan
menghirup udara yang segar. Berhubung cuaca siang ini sedang mendung
dan sekolahnya dikeliling oleh berbagai macam jenis tumbuhan, jadi
Tira dalam merasakan ketenangan seperti dipuncak.
Tira
mempercepat langkah, sebelum hujan mengguyur bumi ini dan membuat
Tira harus lari-lari cepat agar terhindar dari rintik hujan. Walaupun
kita tau, secepat apapun kita berlari pasti akan basah. Tetapi,
langkah Tira tiba-tiba menjadi pelan. Dari kejauhan dia melihat ada
segerombolan kakak kelas. “aduh ngapain mereka? Bukannya daritadi
udah sepi ya?” lirihnya dalam hati. Niat untuk membalikkan badan,
sudah tidak bisa dilakukannya. Mau tidak mau, langkahnya harus tetap
maju ke depan.
“eh
ada adik kelas nih, Tira...Tiraa..”. Rayuan itu benar-benar membuat
Tira geli setengah mati. “kok belom pulang? Sendirian aja nih
kayaknya. Gue anterin yuk”, ucap Tomi si kakak kelas. “Ngg..iya
kak, ini baru mau pulang”, jawabnya sambil menunduk dan melanjutkan
langkahnya. “eits, password dulu dong”, tiba-tiba langkah Tira
terhenti. Lebih tepatnya dihentikan oleh si Kakak kelas. “hah?
Apaan kak? Aku nggak tau”. Tira merasakan bulu kuduknya merinding
dan berpikir “ini ada apa lagi?”.
Tiba-tiba
Tira terpaku oleh sosok laki-laki dihadapannya. Radit. Ada Radit.
Dengan penuh harap, Tira berharap Radit datang untuk menolongnya.
Dilihatnya Radit sedang menengok ke arahnya dan langsung berjalan
menuju ke arahnya.
“ada apa nih?”, tantang
Radit.
“emang kenapa lo?”, ucap
kakak kelas.
“eh jangan berani ama cewek
ya! Tir, kamu jalan aja, nggak usah ladenin mereka. Ayo cepet!”
Radit
memberi isyarat tanda kepada Tira untuk bergegas pergi dan gerombolan
cowok yang ngehadang Tira, membiarkannya lewat begitu saja. Setelah
3-4 langkah, Tira membalikkan badan dan membisiki telinga Radit.
“Tapi Dit, nggak usah diladenin lah. Yuk”, Tira menarik lengan
Radit. Tira nggak ngerti sama sekali, ini semua acting atau bukan.
Semuanya menjadi kacau. “udahlah, nggak usah pusing, pergi aja”.
“Tapi...Dit...”,
gumamnya.
“Tiirr
!!” dengan emosi, Radit membentak Tira dan dengan terpaksa Tira
berbalik badan meninggalkan tempat itu dengan perasaan...entah
apalagi.
Kacau. Kacau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar