Minggu, 15 Juli 2012

irreplaceable PART 3

kenapa lo semalem? Cerita dong cerita. Kan semalem udah janji”

     Raka adalah jenis manusia yang suka nagih janji. Pagi-pagi, bel belum berbunyi pun, dia sudah melaksanakan kewajibannya itu. Tira yang baru saja memasuki ruangan, tiba-tiba diterpa pertanyaan-pertanyaan yang bikin mood Tira down. Suasana kelas masih tampak sepi. Hanya ada beberapa siswa yang ngerumpi disudut kelas. Tiba-tiba mata Tira terpaku ke sebelah Raka. “Radit mana?”, Tira memberi Raka kode dengan menaikkan alis ke arah tempat duduk Radit si anak baru.

     “Nggak tau, paling entar lagi datang. Lo mabuk ya? Inikan masih pagi amat. Wajarlah dia belom dateng.” Menyadari sindiran Raka, Tira duduk dan melemparkan tasnya ke atas meja. Beberapa orang melirik ke arahnya, tetapi hanya sementara saja. “Tir...”, Raka berusaha membujuk Tira untuk menceritakan apa yang terjadi semalam. Raka tau kalau sahabatnya ini, gampang stress. Jadi lebih baik ia agak 'sedikit' memaksa Tira untuk bercerita, tujuannya sih agar Tira tidak menyimpan banyak beban di pikirannya.

     “Ntar deh, gue pengen sendiri dulu, Ka”, mendengar jawaban itu, Raka mengurungkan niatnya untuk memaksa Tira bercerita. Ia lebih baik membiarkan Tira berfikir dan menunggu waktu yang tepat. Sepanjang waktu pelajaran, Tira benar-benar termenung oleh kejadian semalam. Saat bel jam untuk istirahat pun, Tira lebih memilih untuk tiduran didalam kelas dibanding ke kantin. Raka menawarkan berbagai makanan tetapi tetap saja Tira sedang tidak ingin berbuat apa-apa.

      Hingga saat bel pulang, Tira masih tutup mulut. Kelas mulai tampak sepi. Hanya tinggal mereka berdua. Raka menunggu reaksi Tira dari belakang. Tiba-tiba Tira berbalik badan...

     “udah, lo pulang duluan aja. Hari ini gue bawa mobil jadi bisa pulang kapan aja. Gue masih pengen sendiri, Ka. Lo kan sahabat gue, jadi lo bisa ngertiin gue kan?”.

      Pernyataan itu benar-benar membuat Raka berat untuk beranjak dari tempat duduknya. Bagaimana bisa ia meninggalkan Tira sendirian dengan keadaan seperti itu?. “Tapi, Tir...”. “udah nggak apa-apa kok. Entar malam gue janji deh buat cerita.okay?”. Dengan berat hati, Raka meninggalkan Tira sendirian. Dalam kelas.

      Setelah melihat sosok sahabatnya meninggalkan ruang kelas, Tira menutup mata. Menarik nafas dalam-dalam. Berharap tidak akan mengeluarkan setetes air mata sedikitpun. Ia membuka mata dan mengambil tas untuk segera bergegas keluar. Ia melihat kearah lapangan sekolah. Sudah sangat sepi. Tira memutuskan untuk berjalan mengelilingi sepanjang koridor lantai dua. Mumpung sepi, pikirnya. Ia mengitari koridor yang berbentuk 'O'. Ia berfikir untuk memulai dari depan kelasnya dan berakhir didepan kelasnya juga.

      Sambil melangkah, Tira terus dibayangi oleh kejadian-kejadian semalam. Pertanyaan mulai muncul satu persatu dalam benaknya. “apa gue salah ya?” “apa gue bakal nyesel?” “kenapa bisa?”. Sesekali, Tira menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya. Dengan perasaan tidak karuan, Tira merasakan kehancuran yang tak bisa ia bendungi. Ia merasa membutuhkan pundak seseorang untuk menangis tetapi ia belum siap untuk bercerita. 5 menit Tira berjalan dan memikirkan segalanya.

      Akhirnya, Tira menemukan titik akhir. Ia berfikir, “sampai kapan harus seperti ini? Ini bukanlah akhir dari segala. Mungkin ini memang yang terbaik buat gue, dan harus gue syukuri. Masih ada yang lebih baik diluar sana”. Seketika, Tira melontarkan sebuah senyuman ikhlas dan menghirup udara yang segar. Berhubung cuaca siang ini sedang mendung dan sekolahnya dikeliling oleh berbagai macam jenis tumbuhan, jadi Tira dalam merasakan ketenangan seperti dipuncak.

      Tira mempercepat langkah, sebelum hujan mengguyur bumi ini dan membuat Tira harus lari-lari cepat agar terhindar dari rintik hujan. Walaupun kita tau, secepat apapun kita berlari pasti akan basah. Tetapi, langkah Tira tiba-tiba menjadi pelan. Dari kejauhan dia melihat ada segerombolan kakak kelas. “aduh ngapain mereka? Bukannya daritadi udah sepi ya?” lirihnya dalam hati. Niat untuk membalikkan badan, sudah tidak bisa dilakukannya. Mau tidak mau, langkahnya harus tetap maju ke depan.

      “eh ada adik kelas nih, Tira...Tiraa..”. Rayuan itu benar-benar membuat Tira geli setengah mati. “kok belom pulang? Sendirian aja nih kayaknya. Gue anterin yuk”, ucap Tomi si kakak kelas. “Ngg..iya kak, ini baru mau pulang”, jawabnya sambil menunduk dan melanjutkan langkahnya. “eits, password dulu dong”, tiba-tiba langkah Tira terhenti. Lebih tepatnya dihentikan oleh si Kakak kelas. “hah? Apaan kak? Aku nggak tau”. Tira merasakan bulu kuduknya merinding dan berpikir “ini ada apa lagi?”.

      Tiba-tiba Tira terpaku oleh sosok laki-laki dihadapannya. Radit. Ada Radit. Dengan penuh harap, Tira berharap Radit datang untuk menolongnya. Dilihatnya Radit sedang menengok ke arahnya dan langsung berjalan menuju ke arahnya.

   “ada apa nih?”, tantang Radit.
   “emang kenapa lo?”, ucap kakak kelas.
   “eh jangan berani ama cewek ya! Tir, kamu jalan aja, nggak usah ladenin mereka. Ayo cepet!”

     Radit memberi isyarat tanda kepada Tira untuk bergegas pergi dan gerombolan cowok yang ngehadang Tira, membiarkannya lewat begitu saja. Setelah 3-4 langkah, Tira membalikkan badan dan membisiki telinga Radit. “Tapi Dit, nggak usah diladenin lah. Yuk”, Tira menarik lengan Radit. Tira nggak ngerti sama sekali, ini semua acting atau bukan. Semuanya menjadi kacau. “udahlah, nggak usah pusing, pergi aja”.

  “Tapi...Dit...”, gumamnya.

    “Tiirr !!” dengan emosi, Radit membentak Tira dan dengan terpaksa Tira berbalik badan meninggalkan tempat itu dengan perasaan...entah apalagi. 


Kacau. Kacau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar