Jarum
jam menunjukkan pukul 16.10
Langit
terlihat mendung. Udara yang dingin membuat Tira mengelus-ngelus
kedua tangannya. Kini ia sedang berada di area pemakaman Radit.
Dilihatnya beberapa orang sudah memenuhi area pemakaman. Tira
mengambil langkah pertamanya turun dari mobil. Ditemani bersama Desya
dan Raka, Tira meneruskan langkahnya menuju ke arah segerombolan
orang yang sedang mengelilingi makam Radit.
Terdengar
bacaan doa yang terucap dari mulut para tamu yang datang. Tira ikut
berdoa bersama orang-orang disekitarnya. Ia tak kuasa menahan air
mata yang sejak ia datang tadi, ingin membasahi pipi mungilnya. Kini
semuanya terlampiaskan. Tira berjalan melewati beberapa orang yang
berdiri disekitar makam, hingga akhirnya ia berdiri depan sebuah
papan yang telah tertancap di tanah bertuliskan nama lengkap Radit.
Raditya
Putra Agung
Tira
menggelengkan kepala. Ia tak percaya yang sedang berada dihadapannya
adalah makam orang yang ia sayangi. Sejak dulu. Raka yang tidak tega
melihat tangisan sahabatnya yang semakin kencang, segera memeluknya
erat-erat.
♔
“udahlah,
Ka. Tinggalin gue sendiri dulu. Ntar gue nyusul deh”.
Tira
merasa ingin sendiri dan mengungkapkan segala isi hatinya kepada
Radit. Meskipun ia tahu, Radit tidak nyata. Lagi. Seketika Raka
meninggalkan Tira sendirian. Raka merasa mungkin ini adalah jalan
yang terbaik untuk membuat perasaan Tira lebih tenang lagi.
Tira
menatap lurus ke papan putih yang berada dihadapan. Mata Tira kembali
berkaca-kaca. Ia mengingat kembali kejadian-kejadian yang ia lalui
bersama Radit. Diusapnya papan itu dan menaburkan bunga-bunga di atas
makam Radit.
“Kenapa,
Dit? Kenapa lo cepat banget pergi dari kehidupan gue? Apa gue nggak
punya arti apa-apa buat lo? Selama setahun, gue nyimpen rasa ini ke
lo. Gue nggak tau apa yang lo rasain ke gue. Lo inget nggak pas lo
gue ngejek lo? Lo inget nggak pas lo dikerjain sama anak-anak karena
lo murid baru? Pertama lo masuk, gue udah punya rasa yang beda.
Tiba-tiba lo datang jadi pahlawan gue dan sekarang? Tiba-tiba lo
ngilang. Ninggalin gue. Sendiri, Dit. Dengan perasaan yang sakit. Gue
ngerasa jatuh kedalam lubang yang dalam dan nggak bisa keluar lagi.
Gue terjebak dengan perasaan gue sendiri. Diiittttttttt!!!!!”
Tira
tidak mampu membendungi perasaan sedih yang ia alami karena kepergian
Radit. Untuk sesaat, Tira terdiam. Menunduk. Menenangkan perasaannya.
“Mungkin
lo udah tenang disana. Mungkin nggak seharusnya gue nangis didepan lo
seperti ini. Maaf, Dit. Gue cengeng banget. Mungkin ini adalah takdir
gue. Tuhan sudah merencanakan ini semua. Gue nggak boleh nangis lagi.
Gue harus tetap tersenyum, biar lo nggak ikut sedih juga. Asal lo
tau, Dit. Sampai kapanpun lo nggak bisa tergantikan oleh siapapun
dihati gue. Cuma lo, Dit. .”
Tira
mengusap air mata dipipinya. Menaburkan kembali bunga-bunga dan
tersenyum menatap makam Radit. Ia menarik nafas dalam-dalam dan
menghembuskannya. Ia berdiri dan berbalik menuju ke area parkiran
yang tak jauh dari makam Radit. Dilihatnya Raka melambaikan tangan ke
arahnya. Tak sampai 5 langkah ia meninggalkan tempat ia berdiri tadi,
Tira berbalik badan dan menatap makam Radit mungkin untuk terakhir
kalinya. Tira tidak ingin terus berlarut dalam kesedihan.
“Selamat
tinggal, Radit”.
Tirapun
melanjutkan langkahnya. Berharap semua akan baik-baik saja. Ia harus
merelakan kepergian Radit. Tira memejamkan mata dan menghirup udara
yang sejuk. Berharap besok ia akan kembali ceria dan memulai harinya
dengan senyuman.
:D:D:D:D:D:D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar